KAJIAN DAMPAK EKONOMI DAN KEUNGGULAN PARIWISATA KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI BALI

DIMENSI EKONOMI PARIWISATA

KAJIAN DAMPAK EKONOMI DAN KEUNGGULAN PARIWISATA KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI BALI

I Gusti Bagus Rai Utama

Mahasiswa Program Pascasarjana S3 (Doktor) Pariwisata

Universitas Udayana

AbstraCt

Measuring the impact of tourism on the economy is still being debated by some of economists, especially for the tourism’s economist who has conducted study about economic impact   of tourism development. While the UN-WTO stated that tourism sector is still as a leading sector of development in some countries in the world because it has a positive dynamics trends. This paper also describes some of the positive impact of tourism on the economy and criticized some of negative impact. On the other hand, this paper also presented a scientific reflection on the current condition of Bali tourism development; indeed its still can be debated.

Keyword: economic impact, positive, negative, development.

1.   Pendahuluan

Pariwisata seringkali dipersepsikan sebagai mesin penggerak ekonomi atau penghasil devisa bagi pembangunan ekonomi di suatu Negara, tanpa terkecuali di Indonesia. Namun demikian pada kenyataannya, pariwisata memiliki spektrum fundamental pembangunan yang lebih luas bagi suatu negara.

Seiring dengan hal di atas, menurut IUOTO (International Union of Official Travel Organization) yang dikutip oleh Spillane (1993), pariwisata mestinya dikembangkan oleh setiap negara karena delapan alasan utama seperti berikut ini: (1)Pariwisata sebagai faktor pemicu bagi perkembangan ekonomi nasional maupun international. (2)Pemicu kemakmuran melalui perkembangan komunikasi, transportasi, akomodasi, jasa-jasa pelayanan lainnya. (3)Perhatian khusus terhadap pelestarian budaya, nilai-nilai sosial agar bernilai ekonomi. (4)Pemerataan kesejahtraan yang diakibatkan oleh adanya konsumsi wisatawan pada sebuah destinnasi. (5)Penghasil devisa. (6)Pemicu perdagangan international. (7)Pemicu pertumbuhan dan perkembangan lembaga pendidikan profesi pariwisata maupun lembaga yang khusus yang membentuk jiwa hospitality yang handal dan santun, dan (8)Pangsa pasar bagi produk lokal sehingga aneka-ragam produk terus berkembang, seiring dinamika sosial ekonomi pada daerah suatu destinasi.

Dari sisi kepentingan nasional, [1]Menurut Departemen Kebudayaan dan Pariwisata RI (2005) dalam Sapta (2011:1) menjelaskan bahwa pembangunan kepariwisataan pada dasarnya ditujukan untuk beberapa tujuan pokok yang dapat dijelaskan sebagai berikut:

a)   Persatuan dan Kesatuan Bangsa: Pariwisata dianggap mampu memberikan perasaaan bangga dan cinta terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui kegiatan perjalanan wisata yang dilakukan oleh penduduknya ke seluruh penjuru negeri. Dampak yang diharapkan, dengan banyaknya warganegara yang melakukan kunjungan wisata di wilayah-wilayah selain tempat tinggalnya akan menimbulkan rasa persaudaraan dan pengertian terhadap sistem dan filosofi kehidupan masyarakat yang dikunjungi sehingga akan meningkatkan rasa persatuan dan kesatuan nasional.

b)   Penghapusan Kemiskinan (Poverty Alleviation): Pembangunan pariwisata diharapkan mampu memberikan kesempatan bagi seluruh rakyat Indonesia untuk berusaha dan bekerja. Kunjungan wisatawan ke suatu daerah diharpkan mampu memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Harapannya adalah bahwa pariwisata harusnya mampu memberi andil besar dalam penghapusan kemiskinan di berbagai daerah yang miskin potensi ekonomi lain selain potensi alam dan budaya bagi kepentingan pariwisata.

c)    Pembangunan Berkesinambungan (Sustainable Development): Dengan sifat kegiatan pariwisata yang menawarkan keindahan alam, kekayaan budaya dan keramah tamahan dan pelayanan, sedikit sekali sumberdaya yang habis digunakan untuk menyokong kegiatan ini. Artinya penggunaan sumberdaya yang habis pakai cenderung sangat kecil sehingga jika dilihat dari aspek keberlanjutan pembangunan akan mudah untuk dikelola dalam waktu yang relative lama.

d)   Pelestarian Budaya (Culture Preservation): Pembangunan kepariwisataan diharapkan mampu berkontribusi nyata dalam upaya-upaya pelestarian budaya suatu negara atau daerah yang meliputi perlindungan, pengembangan dan pemanfaatan budaya negara ataudaerah. UNESCO dan UN-WTO dalam resolusi bersama mereka di tahun 2002 telah menyatakan bahwa kegiatan pariwisata merupakan alat utama pelestarian kebudayaan. Dalam konteks tersebut, sudah selayaknya bagi Indonesia untuk menjadikan pembangunan kepariwisataan sebagai pendorong pelestarian kebudayaan diberbagai daerah.

e)   Pemenuhan Kebutuhan Hidup dan Hak Azasi Manusia: Pariwisata pada masa kini telah menjadi kebutuhan dasar kehidupan masyarakat modern. Pada beberapa kelompok masyarakat tertentu kegiatan melakukan perjalanan wisata bahkan telah dikaitkan dengan hak azasi manusia khususnya melalui pemberian waktu libur yang lebih panjang dan skema paid holidays.

f)    Peningkatan Ekonomi dan Industri: Pengelolaan kepariwisataan yang baik dan berkelanjutan diharapkan mampu memberikan kesempatan bagi tumbuhnya ekonomi di suatu destinasi pariwisata. Penggunaan bahan dan produk lokal dalam proses pelayanan di bidang pariwisata akan juga memberikan kesempatan kepada industri lokal untuk berperan dalam penyediaan barang dan jasa..

g)   Pengembangan Teknologi: Dengan semakin kompleks dan tingginya tingkat persaingan dalam mendatangkan wisatawan ke suatu destinasi, kebutuhan akan teknologi tinggi khususnya teknologi industri akan mendorong destinasi pariwisata mengembangkan kemampuan penerapan teknologi terkini mereka. Pada daerah-daerah tersebut akan terjadi pengembangan teknologi maju dan tepat guna yang akan mampu memberikan dukungan bagi kegiatan ekonomi lainnya. Dengan demikian pembangunan kepariwisataan akan memberikan manfaat bagi masyarakat dan pemerintahan di berbagai daerah yang lebih luas dan bersifat fundamental. Kepariwisataanakan menjadi bagian tidak terpisahkan dari pembangunan suatu daerah dan terintegrasi dalam kerangka peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat.

Sedangkan dari sisi kepentingan Internasional, [2]Pariwisata internasional pada tahun 2004 mencapai kondisi tertinggi sepanjang sejarah dengan mencapai 763 juta orang dan menghasilkan pengeluaran sebesar US$ 623 miliar. Kondisi tersebut meningkat 11% dari jumlah perjalanan tahun 2003 yang mencapai 690 juta orang dengan jumlah pengeluaran US$ 524 miliar. Seiring dengan hal tersebut, diperkirakan jumlah perjalanan wisata dunia di tahun 2020 akan menembus angka 1,6 miliar orang per tahun (UN-WTO, 2005) seperti Nampak pada grafik di bawah ini:

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Graph 1, [3]Tourism Vision 2020 – UNWTO. Source: http://pandeputusetiawan.wordpress.com

Pada sisi yang berbeda, walaupun pariwisata telah diakui sebagai faktor penting stimulator penggerak perekonomian di beberapa negara di dunia, namun pariwisata juga menyembunyikan beberapa hal yang jarang diungkap dan dihitung sehingga sangat sulit untuk ditelusuri perannya atau kerugiannya.[4]Beberapa biaya tersembunyi atau hidden cost diantaranya adalah:  industri pariwisata bertumbuh dalam mekanisme pasar bebas sehingga seringkali destinasi pada negara berkembang hanya menjadi obyek saja, hal lainnya pengembangan pariwisata memang telah dapat menigkatkan kualitas pembangunan pada suatu destinasi namun akibat lainnya seperti peningkatan harga-harga pada sebuah destinasi terkadang kurang mendapat perhatian dan korbannya adalah penduduk lokal,  dan banyak hal akan di ungkap dalam paper ini.

2.    Metode

Kajian ini menggunakan metode desk research dengan teknik penelusuran data dan informasi secara online, sumber sekunder, dan sumber publikasi ilmiah lainnya.

Sementara teknik analisis yang digunakan adalah teknik analisis deskriptif kuanlitatif, analogi, dan komparasi beberapa hasil penelitian dan publikasi ilmiah lainnya yang terkait dengan permasalahan dimensi ekonomi pariwisata.

3.   Hasil Kajian dan Pembahasan

Mengukur manfaat dan kerugian pembangunan pariwisata pada beberapa negara saat ini, masih menjadi perdebatan diantara para ahli ekonomi khususnya yang telah melakukan riset dan evalusi terhadap ekonomi pariwisata. Beberapa pandangan para fakar mewarnai pembahasan paper ini dari sudut pandangan yang berbeda-beda.

“Frechtling (1987a) considers alternative methods of collecting data about expenditure by tourists and the shortcomings of these. He also reviews methods such as impact multipliers and input-output analysis used to measure the economic impacts generated by tourism expenditure”

Frechtling (1987), menyatakan bahwa untuk mengukur manfaat pariwisata bagi perekonomian suatu Negara harus tersedia data yang cukup lengkap, Dia menawarkan metode alternative khususnya berhubungan dengan metode pengumpulan data tentang pengeluaran   wisatawan di saat yang akan datang, dan dia juga mereview beberapa metode yang telah digunakan oleh para ahli sebelumnya, dengan menggunakan impact multipliers dan input-output analysis untuk mengukur pengeluaran sector pariwisata.

“Impact analysis can be extended to other dimensions as summarised by Archer and Cooper (1994) including social cost-benefit analysis”

Sementara Archer dan Cooper (1994), berpendapat bahwa: penelusuran tentang manfaat dan dampak pariwisata terhadap ekonomi harus menyertakan variabel sosial yang tidak pernah dihitung oleh fakar lainnya, dan social cost-benefitanalysis mestinya digunakan. Menurutnya, untuk mengukur manfaat dan dampak pariwisata tidak sekedar menghitung dampak ekonomi hanya dengan mencari multiplier efeknya saja.

Sinclair and Sutcliffe (1988) discuss the complexities of estimating Keynesian income multipliers for tourism at the sub-national level”

Sedangkan, Sinclair dan Sutcliffe (1988), menjelaskan bahwa pengukuran multiplier income untuk sektor pariwisata pada tingkat sub nasional memerlukan pemikiran dan data yang lebih kompleks disebabkan sering terjadinya leakages” kebocoran sehingga analisis ini sebaiknya dilakukan pada tingkat local regional tertentu dan leakages inilah yang mestinya harus diukur dan dibandingkan dengan manfaat yang  diharapkan.

“Heng and Low (1990) illustrates well the type of practical use which can be made of input-output analysis in considering the impact of tourism

Lebih tegas, Heng dan Low (1990) pada tataran praktis, mereka menjelaskan bahwa untuk mengukur dampak pariwisata akan lebih baik menggunakan analisis input-output.

“Johnson and Moore (1993) concentrate on measuring the economic impact of a particular tourist activity and tourism resource”

Tapi, Johnson dan Moore (1993) justru menitikberatkan bahwa pengukuran dampak ekonomi pariwisata akan lebih tepat dilakukan focus pada aktifitas wisata tertentu yang sedang berkembang pesat dan sumberdaya pariwisata yang dipergunakannya serta segala dampak-dampaknya.

“West (1993) uses a Social Accounting Matrix (SAM) to overcome the first problem and an integrated model to allow for changes in the relationship with the passage of time”

Sementara West (1993) menawarkan SAM atau social accounting matrix untuk memecahkan masalah pariwisata yang saling berhubungan dari waktu ke waktu.Dia mengganggap bahwa analisis input-output dianggap belum mampu memecahkan persoalan dampak pariwisata karena hanya mengukur hubungan produser dengan produser dan tidak menyertakan perdagangan yang dilakukan oleh pemerintah dan sektor publik lainnya.

“Harris and Harris (1994) argue that “the study of tourism at the macro level (nation, State, region) is hindered by the absence of any standard industry classification for this kind of activity”

Dan akhirnya, Harris dan Harris (1994) mengkritisi bahwa analisis terhadap dampak pariwisata yang telah dilakukan saat ini pada tingkat nasional, dan regional cenderung mengabaikan ketiadaan standar klasifikasi industri untuk tiap aktifitas pada industri pariwisata padahal standarisasi pada industri pariwisata ini membawa konsekuensi tersendiri terhadap biaya tambahan “others cost” baik bagi pelaku industri pariwisata dan masyarakat lokal itu sendiri.

 

3.1. Dampak Positip Pariwisata terhadap Perekonomian ([5]positive economic impacts of tourism)

3.1.1          Pendapatan dari Nilai Tukar Valuta Asing

Pengeluaran sektor pariwisata akan menyebabkan perekonomian masyarakat local menggeliat dan menjadi stimulus berinvestasi dan menyebabkan sektor keuangan bertumbuh seiring bertumbuhnya sektor ekonomi lainnya.

Pengalaman di beberapa negara bahwa kedatangan wisatawan ke sebuah destinasi wisata juga menyebabkan bertumbuhnya bisnis valuta asing untuk memberikan pelayanan dan kemudahan bagi wisatawan selama mereka berwisata. Tercatat juga bahwa di beberapa negara di dunia 83% dari lima besar pendapatan mereka, 38% pendapatannya adalah berasal dari “Foreign Exchange Earnings” perdagangan valuta asing.

New Delhi, Feb 26 : Highlighting the tremendous growth potential offered by the tourism sector, the Economic Survey 2010-11 has said the country’s foreign exchang eearnings (FEE) from tourist arrivals grew by 24.56 percent in 2010 at 14,193 million dolllars as compared to 11,394 dollars million in 2009”

Sebagai contoh, bahwa pariwisata mampu menyumbangkan pendapatan untuk Negara India, berdasarkan hasil survey ekonomi India pada tahun 2010-11, bahwa akibat kedatangan wisatawan asing ke India pada tahun 2010 terjadi peningkatan pendapatan dari perdangan Valas sebesar 34,56% atau sebesar 14,193 Juta US Dolar meningkat jika dibandingkan tahun 2009 yang hanya sebesar 11,394 Juta US Dolar.

“Latest statistics from National Tourism Administration show that China’s foreign-exchange earnings from tourism exceeded US$5.1 billion in the first four months this year, an increase of 18.7 percent over the same period last year, 2010”

Sementara pemerintah China mencapat bahwa sumbangan pariwisata  akibat perdagangan Valas  telah mencapai 5,1 Juta US Dolar untuk kurun waktu  hanya empat bulan saja pada tahun 2010. Dari kedua contoh tersebut sudah dianggap cukup menguatkan pendapat bahwa pembangunan pariwisata dapat meningkatkan pendapatan suatu Negara khususnya dari aktifitas perdagangan valuta asing.

 

3.1.2          Penerimaan Devisa

Kontribusi pariwisata terhadap pendapatan pemerintah dapat diuraikan menjadi dua, yakni: kontribusi langsung dan tidak langsung. Kontribusi langsung berasal dari pajak pendapatan yang dipungut dari para pekerja pariwisata dan pelaku bisnis pariwisata pada kawasan wisata yang diterima langsung oleh dinas pendapatan suatu destinasi.

Sedangkan kontribusi tidak langsung pariwisata terhadap pendapatan pemerintah berasal dari pajak atau bea cukai barang-barang yang di import dan pajak yang dikenakan kepada wisatawan yang berkunjung.

Dalam kedua konteks di atas, WTO memprediksi bahwa usaha perjalanan wisata dan bisnis pariwisata tersebut secara langsung dan tidak langsung termasuk juga pajak perorangan telah berkontribusi terhadap pariwisata dunia melampaui US$ 800 billion pada tahun 1998, dan pada tahun 2010 berlipat dua kali jika dibandingkan tahun 1998.

“According to the study, tourism generated $19.7 billion of revenue for all three levels of government combined in Canada in 2007. Spending by Canadians accounted for three out of every four dollars taken in, while one in four dollars came from international visitors to Canada”

Menurut penelitian, pariwisata Kanada menghasilkan $ 19, 7 Juta pendapatan untuk ketiga tingkat pemerintahan gabungan di Kanada pada tahun 2007.Dan Belanja Kanada menyumbang tiga dari setiap empat dolar, sementara satu dari empat dolar berasal dari wisatawan asing yang berwisata di Kanada.

“Tourism  makes  significant  direct  contributions  to  Government  revenues  through  the  sale  of  tickets  to  the Angkor  Complex  ($US  1.2 million),  visa  fees  ($US  3 million),  and  departure  taxes  at the  airports”

Sementara pemerintah Kamboja mencatat bahwa sector pariwisata secara langsung dan nyata telah memberikan sumbangan pendapatan bagi pemerintah melalui aktifitas penjualan tiket masuk wisatawan yang mengunjungi obyek wisata Angkor sebesar 1,2 Juta US Dolar, dari Visa sebesar 3 juta US Dolar, dan aktifitas  taksi dan aktifitas pelayanan di bandara.

Pada kedua studi kasus di atas, tidak dapat disangkal lagi bahwa pariwisata memang benar dapat meningkatkan pendapatan bagi pemerintah di mana pariwisata tersebut dapat dikembangkan dengan baik.

 

3.1.3    Penyerapan Tenaga Kerja

Pada beberapa negara yang telah mengembangkan sektor pariwisata, terbukti bahwa sektor pariwisata secara internasional berkontribusi nyata terhadap penciptaan peluang kerja, penciptaan usaha-usaha terkait pariwisata seperti usaha akomodasi, restoran, klub, taxi, dan usaha kerajinan seni souvenir dan sebagainya.

“Tourism employment is a measure of employment in tourism and non-tourism industries. It is based on an estimate of jobs rather than “hours of work”. Thus, someone who works 10 hours a week counts for as much, by this measure, as someone who works 50 hours a week”. (Government Revenue Attributable to Tourism, 2007)

Menurut Canada Government Revenue Attributable to Tourism, (2007), mendifinisikan bahwa yang dimaksud “Tourism employment” adalah ukuran yang dipakai untuk mengukur besarnya tenaga kerja yang terserap secara langsung pada sector pariwisata termasuk juga besarnya tenaga kerja yang terserap di luar bidang pariwisata akibat keberadaan pembangunan pariwisata.  Dan WTO mencatat kontribusi sector pariwisata terhadap penyediaan lahan pekerjaan sebesar 7% secara internasional.

“Tourism Industry employs          large number of people and provides a wide range of jobs which extend from the unskilled to the highly specialises. Tourism is also responsible for creating employment outside the industry such as furnishing and equipment industry, souvenir industry, textile and handicraft industry, farming and food supply and also construction industry”

Hasil studi pada dampak pembangunan pariwisata di Tripura, India menunjukkan bahwa industry pariwisata adalah industri yang mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar dan mampu menciptakan peluang kerja dari peluang kerja untuk tenaga yang tidak terdidik sampai dengan tenaga yang sangat terdidik. Pariwisata juga menyediakan peluang kerja diluar bidang pariwisata khususnya peluang kerja bagi mereka yang berusaha secara langsung pada bidang pariwisata dan termasuk juga bagi mereka yang bekerja secara tidak langsung terkait industri pariwisata seperti usaha-usaha pendukung pariwisata; misalnya pertanian sayur mayor, peternak daging, supplier bahan makanan, yang akan mendukung operasional industri perhotelan dan restoran.

Sedangkan menurut Mitchell dan Ashley 2010, mencatat bahwa sumbangan pariwisata dalam penyerapan tenaga kerja jika dibandingkan dengan sector lainnya menunjukkan angka yang cukup berarti, dan indeks terbesar terjadi  di Negara New Zealand sebesar 1,15 disusul oleh Negara Philipines, kemudian Chile, Papua New Guinea, dan Thailand sebesar 0,93. Sementara di Indonesia indeks penyerapan tenaga kerja dari sector pariwisata sebesar 0,74, masih lebih rendah jika dibandingkan Negara Afrika Selatan yang mencapai 0,84.

Dalam dua kasus di atas, pariwisata memegang peranan penting dalam penyerapan tenaga kerja di hampir semua Negara yang mengembangkan pariwisata, walaupun harus diakui sector pertanian “agriculture” masih lebih besar indeks penyerapannya dan berada di atas indeks penyerapan tenaga kerja oleh sector pariwisata di hampir semua Negara pada table di atas.

 

3.1.4          Pembangunan Infrastruktur

Berkembangnya sektor pariwisata juga dapat mendorong pemerintah lokal untuk menyediakan infrastruktur yang lebih baik, penyediaan air bersih, listrik, telekomunikasi, transportasi umum dan fasilitas pendukung lainnya sebagai konsekuensi logis dan kesemuanya itu dapat meningkatkan kualitas hidup baik wisatawan dan juga masyarakat local itu sendiri sebagai tuan rumah.

Sepakat membangun pariwisata berarti sepakat pula harus membangun yakni daya tarik wisata “attractions” khususnya daya tarik wisata man-made, sementara untuk daya tarik alamiah dan budaya hanya diperlukan penataan dan pengkemasan. Karena Jarak dan waktu tempuh menuju destinasi “accesable” akhirnya akan mendorong pemerintah untuk membangun jalan raya yang layak untuk angkutan wisata, sementara fasilitas pendukung pariwisata “Amenities” seperti hotel, penginapan, restoran juga harus disiapkan.

Pembangunan infrastruktur pariwisata dapa dilakukan secara mandiri ataupun mengundang pihak swasta nasional bahkan pihak investor asing khususnya untuk pembangunan yang berskala besar seperti pembangunan Bandara Internasional, dan sebagainya. Perbaikan dan pembangunan insfrastruktur pariwisata tersebut juga akan dinikmati oleh penduduk local dalam menjalankan aktifitas bisnisnya, dalam konteks ini masyarakat local  akan mendapatkan pengaruh positif dari pembangunan pariwisata di daerahnya.

 

3.1.5          Pemberdayaan Perekonomian Masyarakat Lokal

Pendapatan sektor pariwisata acapkali digunakan untuk mengukur nilai ekonomi pada suatu kawasan wisata.  Sementara ada beberapa pendapatan lokal sangat sulit untuk dihitung karena  tidak semua pengeluaran wisatawan dapat diketahui dengan jelas seperti misalnya penghasilan para pekerja informal seperti sopir taksi tidak resmi, pramuwisata tidak resmi, dan lain sebagainya.

WTO memprediksi bahwa pendapatan pariwisata secara tidak langsung disumbangkan 100% secara langsung dari pengeluaran wisatawan pada suatu kawasan.  Dalam kenyataannya masyarakat local lebih banyak berebut lahan penghidupan dari sector informal ini, artinya jika sector informal bertumbuh maka masyarakat local akan mendapat menfaat ekonomi yang lebih besar.

Sebagai contoh, peran pariwisata bagi Provinsi Bali terhadap perekonomian daerah “PDRB” sangat besar bahkan telah mengungguli sector pertanian yang pada tahun-tahun sebelumnya memegang peranan penting di Bali. Untuk lebih jelasnya dapat di lihat pada table berikut ini:

 

 

 

Lapangan Usaha

(milyar rupiah)

2003

2004

2005

2006

2007

1. Pertanian

5.666,84

6.011,43

6.887,17

7.463,26

8.216,47

a. Tanaman Bahan Makanan

2.770,40

3.004,40

3.391,28

3.608,72

3.944,28

b. Tanaman Perkebunan

498,81

516,61

592,10

651,84

707,44

c. Peternakan dan Hasil-hasilnya

1.435,70

1.468,57

1.792,73

1.988,97

2.182,55

d. Kehutanan

1,56

1,60

1,76

1,95

2,28

e. Perikanan

960,38

1.020,23

1.109,30

1.211,79

1.379,92

2. Pertambangan & penggalian

176,90

196,47

225,49

257,16

281,09

3. Industri pengolahan

2.384,64

2.610,13

2.950,81

3.254,65

3.804,93

4. Listrik, gas & air bersih

411,01

522,55

627,99

725,86

846,07

5. Bangunan

1.051,15

1.132,72

1.368,31

1.600,86

1.877,52

6. Perdag., hotel & restoran

7.439,35

8.452,94

9.968,55

10.797,66

12.269,74

7. Pengangkutan & komunikasi

2.930,52

3.275,45

4.022,67

4.435,85

5.219,10

8. Keu. Persewaan, & jasa perusahaan

1.725,22

1.969,62

2.399,26

2.788,35

3.108,10

9. Jasa-jasa

4.382,31

4.815,27

5.496,23

6.064,82

6.713,39

PDRB

26.167,94

28.986,60

33.946,47

37.388,48

42.336,42

Tabel: PDRB atas dasar harga berlaku (ADHB) Provinsi Bali,

Sumber: BPS, 2009

3.2. [6]Pengaruh Negatif Pariwisata (Negative Economic Impacts of Tourism)

3.2.1          Kebocoran (Leakage)

Leakage atau kebocoran dalam pembangunan pariwisata dikategorikan menjadi dua jenis kebocoran yaitu keboran import dan kebocoran export. Biasanya kebocoran import terjadi ketika terjadinya permintaan terhadap peralatan-peralatan yang berstandar internasional yang digunakan dalam industri pariwisata, bahan makanan dan minuman import yang tidak mampu disediakan oleh masyarakat lokal atau dalam negeri. Khususnya pada negara-negara berkembang, makanan dan minuman yang berstandar internasional harus di datangkan dari luar negeri dengan alasan standar yang tidak terpenuhi, dan akibatnya produk lokal dan masyarakat lokal sebagai produsennya tidak biasa memasarkan produknya untuk kepentingan pariwisata tersebut.

Besarnya pendapatan dari sektor pariwisata juga diiringi oleh besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk melakukan import terhadap produk yang dianggap berstandar internasional. Penelitian dibeberapa destinasi pada negara berkembang, membuktikan bahwa tingkat kebocoran terjadi antara 40% hingga 50% terhadap pendapatan kotor dari sektor pariwisata, sedangkan pada skala perekonomian yang lebih kecil, kebocoran terjadi antara 10% hingga 20%.

Sedangkan kebocoran export seringkali terjadi pada pembangunan destinasi wisata khususnya pada negara miskin atau berkembang yang cenderung memerlukan modal dan investasi yang besar untuk membangun infrastruktur dan fasilitas wisata lainnya. Kondisi  seperti ini, akan mengundang masuknya penanam modal asing yang memiliki modal yang kuat untuk membangun resort atau hotel serta fasilitas dan infrastruktur pariwisata, sebagai imbalannya, keuntungan usaha dan investasi mereka akan mendorong uang mereka kembali ke negara mereka tanpa bisa dihalangi, hal inilah yang disebut dengan “leakage” kebocoran export.

Hal ini membenarkan pendapat dari Sinclair dan Sutcliffe (1988), yang menjelaskan bahwa pengukuran manfaat ekonomi dari sektor pariwisata pada tingkat sub nasional harunya menggunakan pemikiran dan data yang lebih kompleks untuk menghindari terjadinya leakages” kebocoran.

 

3.2.2          Kebobolan (Enclave Tourism)

Enclave tourism” sering diasosiasikan bahwa sebuah destinasi wisata dianggap hanya sebagai tempat persinggahan sebagai contohnya, sebuah perjalanan wisata dari manajemen kapal pesiar dimana mereka hanya singgah pada sebuah destinasi tanpa melewatkan malam atau menginap di hotel-hotel yang telah disediakan industri lokal sebagai akibatnya dalam kedatangan wisatawan kapal pesiar tersebut manfaatnya dianggap sangat rendah atau bahkan tidak memberikan manfaat secara ekonomi bagi masyarakat di sebuah destinasi yang dikunjunginya.

Kenyataan lain yang  menyebabkan “enclave”  adalah kedatangan wisatawan yang melakukan perjalanan wisata yang dikelola oleh biro perjalanan wisata asing dari “origin country”  sebagai  contohnya, mereka menggunakan maskapai penerbangan milik perusahaan mereka sendiri, kemudian mereka menginap di sebuah hotel yang di miliki oleh manajemen chain dari negara mereka sendiri, berwisata dengan armada dari perusahaan chain milik pengusaha mereka sendiri, dan dipramuwisatakan oleh pramuwisata dari negerinya sendiri, dan sebagai akibatnya masyarakat lokal tidak memperoleh manfaat ekonomi secara optimal.

 

3.2.3          Pembiayaan Infrastruktur (Infrastructure Cost)

Tanpa disadari ternyata pembangunan sektor pariwisata yang berstandar internasional dapat menjadi beban biaya tersendiri bagi pemerintah dan akibatnya cenderung akan dibebankan pada sektor pajak dalam artian untuk membangun infratruktur tersebut, pendapatan sektor pajak harus ditingkatkan artinya pngutan pajak terhadap masyarakat harus dinaikkan.

Pembangunan pariwisata juga mengharuskan pemerintah untuk meningkatkan kualitas bandara, jalan raya, dan infrastruktur pendukungnya, dan tentunya semua hal tersebut memerlukan biaya yang tidak sedikit dan sangat dimungkinkan pemerintah akan melakukan re-alokasi pada anggaran sektor lainnya seperti misalnya pengurangan terhadap anggaran pendidikan dan kesehatan.

Kenyataan di atas menguatkan pendapat Harris dan Harris (1994) yang mengkritisi bahwa analisis terhadap dampak pariwisata harusnya menyertakan faktor standar klasifikasi industri untuk tiap aktifitas pada industri pariwisata yang sering dilupakan pada analisis dampak pariwisata.

 

3.2.4          Meningkatnya Harga-harga secara Dramatis (Increase in Prices or Inflation)

Peningkatan permintaan terhadap barang dan jasa dari wisatawan akan menyebabkan meningkatnya harga secara beruntun “inflalsi” yang pastinya akan berdampak negative bagi masyarakat lokal yang dalam kenyataannya tidak mengalami peningkatan pendapatan secara proporsional artinya jikalau pendapatan masyarakat lokal meningkat namun tidak sebanding dengan peningkatan harga-harga akan menyebabkan daya beli masyarakat lokal menjadi rendah.

Pembangunan pariwisata juga berhubungan dengan meningkatnya harga sewa rumah, harga tanah, dan harga-harga property lainnya sehingga sangat dimungkinkan masyarakat lokal tidak mampu membeli dan cenderung akan tergusur ke daerah pinggiran yang harganya masih dapat dijangkau.

Sebagai konsukuensi logiz, pembangunan pariwisata juga berdampak pada meningkatnya harga-harga barang konsumtif, biaya pendidikan, dan harga-harga kebutuhan pokok lainnya sehingga pemenuhan akan kebutuhan pokok justru akan menjadi sulit bagi penduduk lokal. Hal ini juga sering dilupakan dalam setiap pengukuran manfaat pariwisata terhadap perekonomian pada sebuah Negara.

 

3.3.5          Ketergantungan Sektoral (Economic Dependence)

Keanekaragaman industri dalam sebuah perekonomian menunjukkan sehatnya sebuah negara, jika ada sebuah negara yang hanya menggantungkan perekonomiannya pada salah satu sektor tertentu seperti pariwisata misalnya, akan menjadikan sebuah negara menjadi tergantung pada sektor pariwisata sebagai akibatnya ketahanan ekonomi menjadi sangat beresiko tinggi.

Di beberapa negara, khususnya negara berkembang yang memiliki sumberdaya yang terbatas memang sudah sepantasnya mengembangkan pariwisata yang dianggap tidak memerlukan sumberdaya yang besar namun pada negara yang memiliki sumberdaya yang beranekaragam harusnya dapat juga mengembangkan sektor lainnya secara proporsional.

Ketika sektor pariwisata dianggap sebagai anak emas, dan sektor lainnya dianggap sebagai anak diri, maka menurut Archer dan Cooper (1994), penelusuran tentang manfaat dan dampak pariwisata terhadap ekonomi harusnya menyertakan variabel sosial yang tidak pernah dihitung oleh fakar lainnya. Ketergantungan pada sebuah sektor, dan ketergantungan pada kedatangan orang asing dapat diasosiasikan hilangnya sebuah kemerdekaan sosial dan pada tingkat nasional, sangat dimungkinkan sebuah negara akan kehilangan kemandirian dan sangat tergantung pada sektor pariwisata.

 

3.3.6          Masalah Musiman (Seasonal Characteristics)

Dalam Industri pariwisata, dikenal adanya musim-musim tertentu, seperti misalnya musim ramai “high season” dimana kedatangan  wisatawan akan mengalami puncaknya, tingkat hunian kamar akan mendekati tingkat hunian kamar maksimal dan kondisi ini akan berdampak meningkatnya pendapatan bisnis pariwisata. Sementara dikenal juga musim sepi “low season” di mana kondisi ini rata-rata tingkat hunian kamar tidak sesuai dengan harapan para pebisnis sebagai dampaknya pendapatan indutri pariwisata juga menurun hal ini yang sering disebut “problem seasonal

Sementara ada kenyataan lain yang dihadapi oleh para pekerja, khususnya para pekerja informal seperti sopir taksi, para pemijat tradisional, para pedagang acung, mereka semua sangat tergantung pada kedatangan wisatawan, pada kondisi low season sangat dimungkinkan mereka tidak memiliki lahan pekerjaan yang pasti.

Kenyataan di  atas, menguatkan pendapat West (1993) yang menawarkan SAM atau social accounting matrix untuk memecahkan masalah pariwisata yang saling berhubungan dari waktu ke waktu, kebermanfaatan pariwisata terhadap ekonomi harusnya berlaku proporsional untuk semua musim, baik musim sepi maupun musim ramai wisatawan.

3.3. Refleksi terhadap Pariwisata Bali

 

3.3.1 Peran Pariwisata Bagi Perekonomian Bali

Peran pariwisata bagi provinsi Bali dalam pembangunan menunjukkankecenderungan yang semakin meningkat dari tahun ke tahun.Jika dilihat peranan pariwisata dalam kontribusinya terhadap PDRB Bali, maka terlihat adanya peningkatan yang nyata. Pada tahun 2003, PDRB dari pariwisata sebesar 28,43%,  kemudian meningkat menjadi 29,16% pada tahun 2004, dan pada tahun 2005 meningkat lagi menjadi 29,37%. Sementara pada tahun 2006 kontribusi sector pariwisata terhadap PDRB Bali sedikit mengalami penurunan menjadi 28,88 sementara pada tahun 2007 meningkat kembali menjadi 28,98%.

Tabel perbandingan contributor (lapangan usaha) terhadap PDRB Bali, dapat dilihat seperti table dibawah ini:

Tabel: [7]Distribusi persentase PDRB atas dasar harga berlaku (ADHB) Provinsi Bali

Lapangan Usaha (%)

2003

2004

2005

2006

2007

1. Pertanian

21,66

20,74

20,29

19,96

19,41

a. Tanaman Bahan Makanan

10,59

10,36

9,99

9,65

9,32

b. Tanaman Perkebunan

1,91

1,78

1,74

1,74

1,67

c. Peternakan dan Hasil-hasilnya

5,49

5,07

5,28

5,32

5,16

d. Kehutanan

0,01

0,01

0,01

0,01

0,01

e. Perikanan

3,67

3,52

3,27

3,24

3,26

2. Pertambangan & penggalian

0,68

0,68

0,66

0,69

0,66

3. Industri pengolahan

9,11

9,00

8,69

8,70

8,99

4. Listrik, gas & air bersih

1,57

1,80

1,85

1,94

2,00

5. Bangunan

4,02

3,91

4,03

4,28

4,43

6. [8]Perdag., hotel & restoran

28,43

29,16

29,37

28,88

28,98

7. Pengangkutan & komunikasi

11,20

11,30

11,85

11,86

12,33

8. Keu. Persewaan, & jasa perusahaan

6,59

6,79

7,07

7,46

7,34

9. Jasa-jasa

16,75

16,61

16,19

16,22

15,86

PDRB

100,00

100,00

100,00

100,00

100,00

Sumber: BPS, 2009

 

Sementara menurut Suarsana (2011) peningkatan  terjadi pada semua sektor ekonomi, di mana sektor perdagangan, hotel dan restoran masih tetap merupakan sektor andalan, karena mampu memberikan nilai tambah terbesar, yakni Rp 20,02 triliun. Selain itu sektor pertanian masih memberikan kontribusi yang cukup besar yakni Rp 12,10 triliun serta sektor pengangkutan dan komunmikasi sebesar Rp 8,63 triliun.

[9]Perkembangan terakhir, lebih lanjut dikatakan bahwa untuk sektor perdagangan, hotel dan restoran  mengalami pertumbuhan sebesar 8,7 persen memberikan sumbangan terhadap sumber pertumbuhan terbesar terhadap total pertumbuhan PDB yaitu sebesar 1,5 persen. Selanjutnya diikuti oleh Sektor Pengangkutan dan Komunikasi dan Sektor Industri Pengolahan yang memberikan peranan masing-masing sebesar 1,2 persen.7% (Nusa Bali, 2011)

Karena begitu pesatnya perkembangan pariwisata Bali khususnya dalam kontribusi terhadap PDRB bila  dibandingkan sector lainnya termasuk juga dengan sector Pertanian, seiring adanya otonomi daerah yang berada pada kendali kabupaten, ditengarahi factor inilah yang menyebabkan pemerintah daerah Kabupaten dan Kota yang ada di Provinsi Bali ingin menggalakkan sector pariwisata sebagai penggerak  perekonomian di daerahnya masing-masing.

 

3.3.2 Pembangunan Pariwisata Bali saat ini

Dalam konteks pembangunan pariwisata, dihubungkan dengan konsep 4A, yakni daya tarik wisata “attractions”, Jarak dan waktu tempuh menuju destinasi diukur dari bandara “accesable”, Adanya Fasilitas pendukung pariwisata “Amenities”, adanya lembaga pariwisata “ancillary”.  Jika dilihat dari jumlah akomodasi yang telah ada, maka Kabupaten (++) Gianyar, Kabupaten Badung, Kodya Denpasar, Kabupaten Buleleng,  dan Kabupaten Karangasem layak mengandalkan sector pariwisata sebagai penggerak perekonomian daerah, seperti ditunjukkan pada tabel di bawah ini:

 

 

 

Tabel Banyaknya Hotel Non Bintang dan Akomodasi Lainnya di Bali Menurut Kabupaten/Kota dan Kelompok Kamar Tahun 2009

Kabupaten / Kota

Kelompok Kamar

Jumlah

< 10

24-Oct

25 – 40

41 – 100

> 100

1

Gianyar  ++

292

81

10

3

386

2

Badung  ++

95

152

59

50

5

361

3

Denpasar  ++

49

102

44

26

221

4

Buleleng  ++

109

55

14

5

183

5

Karangasem + +

115

54

5

2

176

6

Tabanan

41

20

2

63

7

Jembrana

27

26

3

56

8

Klungkung

19

21

40

9

Bangli

21

6

2

29

Sumber: Bali Dalam Angka 2010

 

Sementara jika, dilihat dari jumlah hotel bintang 4 dan 5 yang telah ada pada kabupaten dan kota di Bali, serta jika diasumsikan bahwa keberanian investor membangun hotel berbintang dihubungkan popularitas pariwisata daerah, maka Kabupaten Badung paling popular (**), kemudian disusul Kota Denpasar, dan Gianyar. Sementara Kabupaten Buleleng, Karangasem, dan Tabanan belum sepopuler (*) Badung-Denpasar-Gianyar.Sedangkan  Kabupaten Jembrana, Klungkung, dan Bangli belum menunjukkan sebagai kabupaten yang memiliki popularitas di sector Pariwisata. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada table di bawah ini.

Tabel Banyaknya Hotel Berbintang di Bali Menurut Lokasi dan Kelas Hotel Tahun 2009

Kabupaten / Kota

Kelas Hotel

Jumlah

Bintang 5

Bintang 4

Bintang 3

Bintang 2

Bintang 1

1

Badung **

26

28

19

15

2

90

2

Denpasar**

3

4

9

7

5

28

3

Gianyar **

5

5

1

11

4

Buleleng *

1

2

2

3

1

9

5

Karangasem *

1

2

1

1

5

6

Jembrana

1

1

2

7

Tabanan *

1

1

2

8

Klungkung

1

1

2

9

B a n g l i

Sumber: Bali Dalam Angka 2010

 

Jika dari atraktivitas maisng-masing kabupaten/kota untuk menjadikan pariwisata sebagai sector unggulan  dilihat dari obyek wisata popular dimiliki saat ini, justru menempatkan kabupaten Karangasem sebagai kabupaten paling menarik dan layak untuk pariwisata, seperti Nampak pada table di bawah ini

Tabel Daftar Obyek Wisata di Kabupaten Karangasem

Kab/Kota No Obyek Wisata
Karangasem

(6 obyek wisata populer)

 

 

 

 

 

1 Taman Tirta Gangga Karangasem (*)
2 Pelabuhan Padangbai
3 Pantai Tulamben Karangasem (*)
4 Agrowisata Kebun Salak Sibetan Karangasem
5 Candi Dasa Karangasem (*)
6 Pura Sulayukti Karangasem
7 Tenun Ikat Gringsing Tenganan (*)
8 Pura Besakih Karangasem (*)
9 Desa Wisata Tenganan (*)

Sumber: LA Tour dan Travel, Sragen, Jawa Tengah (*) telah populer

 

Sementara posisi kedua, menempatkan Kabupaten Badung dan Gianyar dengan 5 obyek wisata yang telah popular dan menjadi andalan kabupaten, seperti Nampak pada table di bawah ini:

Tabel Daftar Obyek Wisata di Kabupaten Badung dan Gianyar

Kab/Kota No Obyek Wisata
Badung 1 Pantai Kuta (*)
(5 obyek wisata telah populer) 2 Sangeh
  3 Pantai & Kawasan Wisata Nusa Dua & Tanjung Benoa (*)
  4 Pantai Jimbaran
  5 Pura Uluwatu (*)
  6 Pura Taman Ayun (*)
  7 Pura Keluarga Kerajaan MengwiPura Bukit Sari Sangeh
  8 Pura Dalem Sakenan Pulau Serangan
  9 Garuda Wisnu Kencana (*)

 

 

Kab/Kota No Obyek Wisata
Gianyar 1 Pulau SeranganKeindahan Alam Ubud Gianyar
(5 obyek wisata telah populer) 2 Air Terjun & Bungy Jumping Blahbatuh Gianyar
  3 Arung Jeram Sungai Ayung Payangan Gianyar
  4 Wisata Safari Naik Gajah Taro Gianyar (Bali Zoo Park)
  5 Air Terjun Tegenungan Gianyar
  6 Pasar Seni Sukawati (*)
  7 Pura Tirta Empul Tampak Siring (*)
  8 Pusat Lukisan & Kerajinan Topeng Batuan Gianyar
  9 Pusat Ukir Kayu Mas, Kemenuh, Tengkulak, Pujung Batuan Gianyar
  10 Pusat Geleri Lukisan Ubud-Peliatan (*)
  11 Goa Gajah, Ukiran Relief Yeh Pulu, Kompleks Samuan Tiga, Patung Kebo Edan, Pusering Jagat, Bulan Pejeng, Kerajinan Ukir Tempurung Kelapa Bedulu-Pejeng Gianyar (*)
  12 Pertunjukan Tari Barong, Tari Kecak, Tari Keris (*)
  13 Istana Presiden Tampak Siring
  14 Monumen Gunung Kawi Tampak Siring

Sumber: LA Tour dan Travel, Sragen, Jawa Tengah (*) telah populer

 

Sedangkan Kota Denpasar, Kabupaten Klungkung, dan Bangli, walaupun mereka memiliki obyek wisata yang cukup banyak dan beragam namun belum sepopuler Kabupaten Karangasem, Badung, dan Gianyar. Untuk Kota Denpasar, walaupun sangat berdekatan dengan  kabupaten Badung, namun tidak terlalu atraktif untuk mengandalkan sector pariwisata sebagai sector unggulan, tentu saja pendapat ini masih bisa diperdebatkan dengan realitas PAD kota Denpasar saat ini.

Tabel Daftar Obyek Wisata di Kota Denpasar, Kabupaten Klungkung dan Bangli

Kab/Kota No Obyek Wisata
Denpasar 1 Pantai Sanur (*)
(3 obyek wisata telah populer) 2 Werdi Budaya Art Centre Abian Kapas Denpasar (*)
  3 Pasar Tradisional Jalan Gajah Mada Denpasar
  4 Museum Bali Denpasar (*)
  5 Patung “Catur Muka” Denpasar
  6 Museum Seni Lukis Le Mayeur Denpasar
Kab/Kota No Obyek Wisata
Klungkung

(3 obyek wisata telah populer)

 

 

 

1 Pura & Goa Lawah Klungkung (*)
2 Pulau Nusa Penida Klungkung (*)
3 Pusat Seni Lukis Tradisional, Seni Ukir Emas & Perak, Seni Ukir Peluru Desa Kamasan Klungkung
4 Taman Gili Kerta Gosa Kraton Semarapura Klungkung (*)

 

Kab/Kota No Obyek Wisata
Bangli

(3 obyek wisata telah populer)

 

 

 

 

 

1 Danau Batur, Gunung Batur, Kawah Batur, Sumber Mata Air Panas Toya Bungkah (*)
2 Penelokan Kintamani (*)
3 Pura Kehen Bangli
4 Desa Trunyan (*)
5 Pura Batur & Pura Tegeh KoripanDesa Adat Penglipuran Bangli
6 Pura Pucaksari Desa Peninjoan Bangli

Sumber: LA Tour dan Travel, Sragen, Jawa Tengah (*) telah populer

 

Sementara untuk Kabupaten Tabanan, Buleleng, dan Jembrana, jika dilihat popularitas andalan obyek wisata, sebenarnya ketiga Kabupaten ini belum layak menjadikan sector Pariwisata sebagai leading sector pembangunan daerahnya, dan sangat dimungkinkkan ada sector lainnya yang lebih unggul daripada sector pariwisata. Menurut pengamatan, sebenarnya Kabupaten Tabanan masih layak mengandalkan sector pertanian khususnya produk padi dan peternakan, sementara Kabupaten Buleleng dan Jembrana belum menunjukkan kekuatan sector pariwisata secara maksimal dan sangat mungkin disebabkan oleh jarak atau akses yang relative jauh dari pusat bisnis pariwisata Badung dan Gianyar.

Tabel Daftar Obyek Wisata di Kabupaten Tabanan, Buleleng dan Jembrana

 

Kab/Kota No Obyek Wisata
Tabanan 1 Pantai & Pura Tanah Lot (*)
(2 obyek wisata telah populer) 2 Pemandangan Alam Jati Luwih & Pura Petali Tabanan
  3 Pantai Dreamland Alas Kedaton Tabanan
  4 Danau Beratan, Pura Ulun Danu Beratan, Desa Kembang Merta, Pasar Bukit Mungsu, Pasar Pancasari Bedugul Tabanan (*)
  5 Puri Agung Kerambitan Tabanan
  6 Pusat Ukir-Ukiran Penarukan, Pusat Keramik & Gentang Pejaten, Pembuatan Kain Tenun Blayu Tabanan
  7 Taman Makam Pahlawan Margarana Tabanan
  8 Museum Subak Tabanan

 

 

Kab/Kota No Obyek Wisata
Buleleng 1 Bukit & Pura Puncak Penulisan BangliAir Terjun Gitgit Buleleng
(2 obyek wisata telah populer) 2 Sumber Mata Air Panas Banjar Buleleng
  3 Pemandian Air Sanih Buleleng
  4 Danau Buyan & Danau Tamblingan Buleleng
  5 Laut Gili Menjangan Buleleng (*)
  6 Pantai Lovina Buleleng (*)
  7 Brahma Vihara Arama – Banjar Buleleng
  8 Patung Singa Ambara Raja Buleleng
Kab/Kota No Obyek Wisata
Jembrana

(1 obyek wisata telah populer)

 

 

 

1 Pantai Medewi Jembrana
2 Taman Nasional Bali Barat Jembrana (*)
3 Pantai Purancak Jembrana
4 Pelabuhan Gilimanuk
5 Pura Rambut Siwi Jembrana

Sumber: LA Tour dan Travel, Sragen, Jawa Tengah (*) telah populer

 

 

Melihat kenyataan di atas, solusi  untuk melakukan pemeratan pembangunan di semua kabupaten dan kota yang ada di Bali, sebaiknya pemerintah provinsi dapat membuat konsensus bersama untuk penentuan skala prioritas pembangunan berdasarkan keunggulan daerah masing-masing; siapa yang menjadi pusat pariwisata, dan siapa sebagai pendukungnya, bagaimana sistem pemerataan yang ideal, serta penentuan komposisi alokasi kontribusi pariwisata terhadap pembangunan daerah di provinsi Bali.

4.   Simpulan dan Saran

Pariwisata secara nyata berpengaruh positif terhadap perekonomian pada sebuah negara atau destinasi seperti (1)pendapatan devisa dan pemicu investasi “foreign exchange earnings”, (2)pendapatan untuk pemerintah “contributions to government revenues”, (3)penyediaan dan penciptaan lahan pekerjaan “employment generation”, (4)pembangunan dan perbaikan infrastruktur baik untuk host maupun tourist “infrastructure development”, (5)pemicu pembangunan perekonomian lokal “development of local economies”.

                Namun masih sangat disesalkan, pariwisata juga menyisakan beberapa masalah seperti (1)terjadi kebocoran terhadap neraca perdagangan “leakage”, (2)usaha tanpa manfaat “enclave”, (3)biaya tersembunyi “hidden cost”  khususnya yang berhubungan dengan kerusakan lingkungan dan sumberdaya alam, serta degradasi budaya dan sosial, (4)ketergantungan terhadap sector pariwisata “depence” padahal sector ini sangat rentan terhadap krisis politik, ekonomi dunia, bencana alam dan sejenisnya, (5)pemicu peningkatan harga-harga yang tidak dikehendaki oleh masyarakat local “inflasi”, (6)ketidak pastian penghasilan dan pekerjaan bagi sebagian besar pekerja pariwisata “seasonal uncertenty”

Sebaiknya pula, dalam setiap perencanaan pembangunan pariwisata harusnya menyertakan variable-variabel non ekonomi, baik yang tangible maupun intangible, dan dapat dievalusi setiap saat untuk mengurangi dampak negative dengan menerapkan konsep “Managing Service Quality” one island in one management destinationuntuk mewujudkan pariwisata yang berkelanjutan.

 

 

Daftar Pustaka

 

Archer, B. and Cooper, C. (1994) “The Positive and Negative Impacts of Tourism”. Pp. 73-91 in W.F. Theobald (ed.) Global Tourism: The Next Decade, Butterworth-Heinemann, Oxford.

 

Archer, B.H. (1982) “The Value of Multipliers and the Policy Implications”, Tourism

 

Board, J., Sinclair, T. and Sutcliffe, C. (1987) “A Portfolio Approach to Regional Tourism”, Built Environment, 13(2), 124-137.

 

Butler, R.W. (1980) “The Concept of a Tourist Area Cycle of Evolution: Implications for the Management of Resources”, The Canadian Geographer, 24, 5-12.

 

Canada Government Revenue Attributable to Tourism, 2007. Research Paper: Income and Expenditure Accounts Technical Series: Catalogue no. 13-604-M — No. 60

 

Departemen Kebudayaan dan Pariwisata RI (2005), Rencana Strategis Pembangunan Kebudayaan dan Pariwisata Nasional 2005 – 2009, Jakarta

 

Fletcher, J.E. (1989) “Input-Output Analysis and Tourism Impact Studies”, Annals of Tourism Research, 16, 514-529.

 

Heng, T.M. and Low, L. (1990) “Economic Impact of Tourism in Singapore”, Annals of Tourism Research, 17, 246-269. Management, 3(4), 236-241.

 

India: Infrastructure Development Investment Program  for Tourist: Project Number: 40648  August 2010, retrieve from http://www.adb.org/Documents/FAMs/IND/40648-01-ind-fam.pdf

 

Jay Kandampully, (2000) “The impact of demand fluctuation on the quality of service: a tourism industry example”, Managing Service Quality, Vol. 10 Iss: 1, pp.10 – 19

 

NusaBali, Selasa 8 Pebruari 2011 Pertumbuhan Ekonomi Bali 5,83 Persen

 

Pitana, I Gde.2005. Sosiologi Pariwisata, Kajian sosiologis terhadap struktur, sistem, dan dampak-dampak pariwisata. Yogyakarta: Andi Offset

Sapta Nirwandar (2011) Pembangunan Sektor Pariwisata: Di Era Otonomi Daerah, di unduh pada 21 Maret 2011 pada http://www.scribd.com/doc/35092726/440-1257-PEMBANGUNANSEKTORPARIWISATA1

 

Sinclair, M.T. (1991) “The Economics of Tourism”. Pp.1-27 in C.P. Cooper and A. Lockwood (Eds) Progress in Tourism, Recreation and Hospitality Management, 3, John Wiley, Chichester, UK.

 

Spillane, James.1993. Ekonomi Pariwisata, Sejarah dan prospeknya.Yogyakarta: Kanisius.

Tisdell, Clem, 1998. Wider Dimensions of Tourism Economics – Impact Analysis, International Aspects, Tourism And Economic Development, And Sustainability And Environmental Aspects Department of Economics: The University of Queensland, Brisbane 4072

 

Tourism Vision 2020 – UNWTO: pada http://pandeputusetiawan.wordpress.com

 

United Nation-World Tourism Organization (2005), Tourism Highlight 2005, UN-WTO, Madrid


[1]Rencana Strategis Pembangunan Kebudayaan dan Pariwisata Nasional 2005 – 2009

[2]Tourism Highlight 2005, UN-WTO, Madrid

[3]Tourism Vision 2020 – UNWTO. From http://pandeputusetiawan.wordpress.com

[4]Economic Impact of Tourism in Global Context

[5]Positive Economic Impacts of Tourism

[6]Negative Economic Impacts of Tourism

[7]Distribusi persentase PDRB atas dasar harga berlaku (ADHB) Provinsi Bali

[8] Sektor Usaha Pariwisata meliputi: Perdag., hotel & restoran

[9] NusaBali, Selasa 8 Pebruari 2011 Pertumbuhan Ekonomi Bali 5,83 Persen

About raiutama

igustibagusraiutama@gmail.com
This entry was posted in Journal, Leisure, News. Bookmark the permalink.

Leave a comment